Pontianak (ANTARA News) - Meriam karbit di Pontianak ukurannya besar sekali dan dipasang di sisi Sungai Kapuas, kalau disundut, suaranya sungguh sangat memekakkan telinga. Dulu bunyi yang membahana itu untuk mengusir kuntilanak, kini malah untuk mendorong pariwisata.
Sejak dulu, meriam-meriam karbit dari kayu keras itu dibunyikan hanya pada saat-saat tertentu, semisal malam takbiran. Hal itu sudah jadi tradisi dan "trade mark" Pontianak sehingga Wakil Walikota Pontianak, Paryadi, mengajak masyarakat melestarikan tradisi meriam karbit itu untuk mendukung potensi wisata di kota itu.
"Permainan meriam karbit ini boleh dikatakan sebagai permainan yang hanya dimainkan oleh masyarakat tepian Sungai Kapuas di Kota Pontianak yang patut untuk dilestarikan," katanya di Pontianak, Selasa.
Mewakili Pemerintah Kota Pontianak, Paryadi menyimpan harapan besar, permainan meriam karbit itu ke depan bisa menjadi salah satu permainan budaya unggulan di Indonesia.
Pasalnya, tidak hanya banyak menyedot perhatian warga setiap malam Lebaran, meriam karbit juga memiliki latar
belakang budaya yang unik.
Dia katakan, meriam karbit dulunya digunakan untuk mengusir kuntilanak pada masa pemerintahan Sultan Pontianak, kemudian permainan itu dilanjutkan oleh penerusnya pada setiap menjelang puasa dan lebaran.
Ia mengatakan, dalam kurun waktu lama permainan tersebut sempat memudar. Tetapi atas dukungan Pemerintah Kota Pontianak, saat ini setiap dua tahun sekali Festival Meriam Karbit dilaksanakan dengan tujuan agar permainan itu terus dijaga.
Paryadi menjelaskan, dulunya meriam Karbit di gunakan oleh Sultan Syarif Andurahman Alqadrie untuk mengusir Kuntilanak, saat akan mendirikan masjid Jami dan Kesultanan Pontianak.
Lanjutnya, hingga berdirinya kerajaan Pontianak pada waktu itu, permainan meriam karbit masih dimainkan oleh Sultan Abdurahman Alqadri pada saat bulan puasa.
Meriam karbit itu akan dibunyikan saat memasuki azan magrib. Tujuannya untuk memberitahukan masyarakat Pontianak bahwa katu berbuka tiba.
"Maklum saja, pada saat itu masjid-masjid belum memiliki alat pengeras suara seperti saat ini. Selain itu, populasi penduduk yang jarang dan terisah-pisah jelas menyulitkan pendengaran suara azan," tuturnya.
Dan bunyi meriam itulah yang dijadikan pertanda datangnya azan Magrib pada saat itu. "Inilah sejarah Pontianak, sekaligus awal tradisi meriam karbit," kata Paryadi.
Kini 241 tahun berselang, meriam karbit masih mentradisi di masyarakat Kota Pontianak, terutama bagi warga tepian Sungai Kapuas.
"Saya mewakili pemerintah kota Pontianak tentu mengharapkan agar kebudayaan ini tetap dijaga oleh masyarakat, agar menjadi khasanah budaya yang tidak pernah habis hingga generasi mendatang," katanya
0 comments:
Post a Comment